Banyak pihak yang mengaitkan kecelakaan Sukhoi
Superjet 100 di Gunung Salak, Rabu 9 Mei 2012 silam dengan sinyal telepon
seluler yang mengganggu komunikasi pilot dengan Air Traffic Control (ATC).
Diketahui, beberapa penumpang pesawat naas tersebut masih mengaktifkan
ponselnya, karena masih dapat dihubungi.
Lalu bagaimana pilot-pilot mengomentari hal
tersebut? Jeffry Adrian, salah seorang pilot senior maskapai Garuda Indonesia
dan juga pilot akrobatik mengungkapkan hal ini dalam diskusi "Polemik:
Tragedi Penerbangan Lagi" di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 12
Mei 2012.
"Indonesia terkenal dengan wilayah Blind
Spot. Saat masuk ke Indonesia, pilot asing bilang ini masuk neraka. Ketika
masuk ke blind spot, semua komunikasi blank," terangnya.
Jeffry juga menambahkan, frekuensi radio dan
ponsel sangat mengganggu para pilot.
"Saya pernah dengar lagu dangdut, lagu jazz.
Lalu pembicaraan orang ke orang. Malah, saya pernah dengar phone sex,"
tambahnya.
Namun masalah sinyal menurutnya bukan jadi
permasalahan utama bagi para pilot. Pilot harus siap dalam kondisi terekstrim,
sehingga tidak bisa menyalahkan keadaan yang demikian.
Di samping itu, pengamat penerbangan yang juga
eks CEO Pelita Air, Samudera Sukardi, menyatakan bahwa aturan sinyal ponsel
mengikuti aturan penerbangan internasional. Namun, sebetulnya hal tersebut
tidak terlalu berpengaruh di Indonesia.
"Di Amerika Serikat, kaitannya kalau
frekuensi sama dengan pilot, maka itu bahaya. Itu berkaitan dgn terorisme. Bisa
saja mereka melakukan pembajakan melalui ponsel," ungkapnya.
Translate by Google
Follow My Twitter Account
Sunday, 13 May 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)